2 Tantangan Adopsi IoT di Indonesia
Riset Asia IoT Business Platform (AIBP) mencatat adopsi perangkat yang terkoneksi internet atau Internet of Things (IoT) hingga awal 2019 oleh perusahaan Indonesia kurang dari 10 persen. Didit Haryanto, product manager Acer Indonesia menerangkan ada dua tantangan utama dalam penerapan IoT di Indonesia yakni edukasi dan komersialisasi.
Didit mengatakan dua masalah tersebut muncul di tengah adopsi IoT dan urgensi peralihan dari sistem analog ke pemanfaatan teknologi.
“Tantangan penerapan IoT di Indonesia karena selama ini masih pakai sistem analog. Orang Indonesia harus mencoba dan melihat simulasi, baru bisa menilai teknologi ini benar bisa membantu atau enggak,” terang Didit ditemui usai acara ‘The Next Gen Enterprise & IoT Solution’ di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/8).
Mengutip riset Gartner, hingga 2022 perusahaan diprediksi akan menghabiskan US$1,2 dengan 30,73 miliar perangkat terhubung dengan internet.
Didit menyebut adopsi IoT di Indonesia bisa berjalan mulus setelah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menandatangani Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas pada awal April lalu.
Ia mengatakan disahkannya aturan IoT memberikan ruang gerak bagi produsen untuk mengkomersialkan produk dan layanan mereka berupa perangkat keras, peranti lunak, hingga data center. Ia menyebut Acer – selama ini dikenal sebagai produsen perangkat keras – mulai awal 2019 memasuki ranah solusi IoT.
“Sejak awal 2019 kami [Acer] memang menawarkan solusi IoT mulai dari peranti keras sampai peranti lunak dan dashboard bisa diakses oleh kustomer. Mengingat regulasi IoT baru disahkan, jadi kami belum bisa mengkomersialkan dan harus menunggu sertifikasi lolos uji dari Postel,” imbuhnya.
Didit menjelaskan solusi IoT yang ditawarkan Acer mengusung teknologi Low Range (LoRa) yang sudah mendapat restu dari Kemenkominfo. Menurutnya LoRa bisa mengatasi masalah adopsi IoT di area yang belum terjangkau sinyal operator seluler.
Ia mencontohkan lahan pertanian atau pertambangan yang belum terjangkau sinyal operator bisa menggunakan LoRa yang bisa menjangkau jarak 10-15 kilometer. Sementara dari titik tersebut hingga ke back-end (gateway) baru menggunakan perangkat yang dibekali kartu SIM.
“Bicara LoRa, ini akan menjangkau area yang belum diselimuti GSM hingga ke sensornya. Tapi untuk akses ke back-end tetap akan ada kartu SIM. Jadi LoRa itu bukan untuk menggantikan yang ada, tapi justru melengkapi,” jelas Didit.
LoRa sendiri merupakan teknik modulasi spektrum yang berasal dari teknologi chirp spread spectrum (CSS). Aplikasi IoT yang mengadopsi teknologi LoRa disebut bisa menjadi solusi untuk konsumsi daya lebih rendah dan transmisi data yang aman. [dEe]