UU Perlindungan Data Pribadi Disebut Memperkuat Industri Telekomunikasi
RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) disebut akan memperkuat posisi industri telekomunikasi nasional. Aturan itu juga akan melindungi masyarakat secara umum, khususnya mereka yang kerap menggunakan teknologi.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) Jamalul Izza mengatakan penggunaan teknologi kini semakin masif. Maka perlindungan data pribadi menjadi hal yang penting.
“UU PDP ini akan mendorong dan memperkuat posisi industri telekomunikasi nasional sebagai pusat bisnis terpercaya. Ini termasuk kunci dalam pembangunan ekonomi Indonesia. APJII sangat berkepentingan atas regulasi perlindungan data pribadi agar dapat dilaksanakan secara efektif serta tepat sasaran,” kata Jamalul, Selasa, 4 Agustus 2020.
Jamalul mengatakan, RUU PDP akan melingkupi seluruh sektor yang memanfaatkan data. Dia berharap DPR dan pemerintah lebih hati-hati dalam membuat regulasi tersebut.
“Perlindungan tak hanya pemilik data pribadi, tetapi juga perusahaan yang memproses data pribadi tersebut. Termasuk data pribadi masyarakat di luar negeri perlu diperhatikan,”ujar Jamalul.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, UU PDP merupakan regulasi paling mutahir. Dari 180 negara, sebanyak 120 negara sudah memiliki UU PDP sejak tahun 1980.
“Prinsip yang diatur pada UU PDP hanya tiga hal; bagaimana hak pemilik data untuk meminta kembali data pribadinya, hak pemilik data untuk melakukan modifikasi data pribadi, dan hak pemilik data untuk dikecualikan,” kata Bobby.
Bobby menyebut RUU ini akan mengatur data flow, atau perpindahan data yang dapat terdiri dari perpindahan cross border, data transfer, data processing, data storing dan data residency.
Sedangkan data is the new oil adalah data mining, jual beli data, monetisasi data yang didapat dari data ownership, data driven economy, jejak digital, prilaku online mayarakat dan surveillance yang menjadi kekuatan ekonomi digital.
“Titik berat dari perlindungan data pribadi pemerintah adalah menggenai data yang dikelola oleh lembaga negara. Seperti data yang ada di administrasi kependudukan (adminduk) di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Namun kami ingin cakupan perlindungan data pribadi tak hanya data adminduk,” ujarnya.
Bobby berharap setelah ada UU PDP tidak ada lagi pasal karet atau pasal yang diinterpertasikan berbeda mengenai data pribadi oleh pemerintah dan perusahaan yang memproses data pribadi. Sehingga ada kepastian bagi perusahaan yang memproses data pribadi untuk menjadi data agregat, dan akan memajukan ekonomi digital Indonesia.
“Dahulu NIK itu termasuk dalam data pribadi yang tidak bisa diekspos. Namun, di ekonomi digital seperti saat ini, NIK dapat diolah dengan menambahkan data prilaku konsumen sehingga menjadi data agregat yang bermanfaat bagi penyelenggaraan Negara terkait dengan kebutuhan konsumsi masyarakat dan ketahanan pangan Indonesia. Mungkin kalau data prilaku hanya satu orang tidak akan ada nilainya. Namun jika prilaku dari 1,5 juta orang? Itu yang memiliki value yang sangat tinggi,” terang Bobby
Bobby juga berharap adanya kepastian hukum mengenai data agregat ini tidak ada lagi kriminialisasi terhadap penggunaan data yang telah diproses tersebut. Sehingga data agregat dapat memberikan ruang untuk kebutuhan penyelenggaraan negara, pengembangan bisnis penyelenggaraan telekomunikasi dan digital.