Infrastruktur Jaringan Internet di Daerah Terpencil Belum Terpenuhi
Pemerintah disebut bakal butuh dana ektra buat membangun infrasruktur telekomunikasi agar menjangkau daerah terpencil. Sebab, infrastruktur pendukung jaringan internet di daerah terpencil belum terpenuhi.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, ambisi pemerintah mempercepat perluasan dan peningkatan infrastruktur telekomunikasi patut diapresiasi, utamanya di tengah pandemi covid-19. Namun, kata Uchok, banyak rintangan buat mewujudkan jaringan internet hingga pelosok dengan kecepatan yang memadai.
Uchok menyebut ada 12.500 desa belum menikmati layanan telekomunikasi. Padahal sebelumnya eks Menkominfo Rudiantara mengeklaim dengan selesainya Palapa Ring oleh BAKTI, seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati layanan telekomunikasi. Termasuk broadband internet.
Uchok mengatakan sebelum membangun infrastruktur telekomunikasi, presiden harusnya menyiapkan infrastruktur dasar, seperti listrik. Sebab, kendala utama pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil adalah ketiadaan jaringan listrik.
Dia mengungkapkan, saat ini masih banyak daerah terpencil menggunakan diesel berbahan bakar solar buat memenuhi kebutuhan listrik. Harga solar di daerah terpencil, kata Uchok, masih mahal sekali.
“Jika pemerintah tidak menyediakan jaringan listrik, bisa dipastikan proyek pembangunan jaringan telekomunikasi akan mangkrak. Kita punya pengalaman MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan) yang tak berjalan. Apakah proyek yang gagal tersebut akan terulang? Presiden harus sadar akan tantangan tersebut,” terang Uchok.
Jika infrastruktur listrik sudah tersedia, baru dapat dibangun jaringan telekomunikasi. Uchok menyarankan pemerintah mengoptimalkan penggunaan Palapa Ring sebagai akses jaringan telekomunikasi.
“Jika tak memungkinkan dengan Palapa Ring, dapat dipertimbangkan menggunakan satelit. Dengan geografis Indonesia yang menantang, kita masih membutuhkan satelit untuk melayani masyarakat di daerah terpencil. Pemerintah harus mencari perencanaan yang paling ekonomis. Apakah memiliki satelit sendiri atau menyewa,” terang Uchok.
Terkait pengadaan satelit SATRIA senilai Rp21 triliun (space segment) dengan penyediaan ground segment yang menelan anggaran Rp80 triliun, dinilai Uchok terlalu mahal. Apalagi, kata Uchok, daerah yang disasar trafik komunikasinya rendah, revenuenya terbatas dan tidak menguntungkan.
“Daerah terpencil merupakan wilayah yang tidak menguntungkan, jadi pemerintah harus mencari satelit yang murah. Jika ada teknologi telekomunikasi lain yang lebih murah dari satelit, pemerintah dapat mempertimbangkan itu. Jika ada skema sewa dan tidak perlu membayar availability payment yang memberatkan setiap tahun, maka perlu dipertimbangkan. Jangan sampai karena satelitnya mahal nantinya yang terbebani adalah masyarakat di daerah tersebut. Jangan sampai operasional penyelenggaraan telekomunikasi menguras APBN,” terang Uchok.
Uchok menyayangkan Palapa Ring yang dibangun era Menteri Rudiantara ternyata hanya pembangunan link backbone yang disewakan secara wholesale oleh BAKTI ke para operator telekomunikasi.
“Utilisasinya juga rendah dan jaringannya tidak sampai ke maysarakat. Akibatnya, hanya sebagian kecil masyarakat dapat menikmati layanan internet. Namun, disisi lain APBN tetap terkuras tiap tahunnya untuk membayar availability payment Palapa Ring. Ini merugikan negara,” kata Uchok.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan, investasi BTS dan pembangunan menara antena di daerah yang infrastrukturnya telah tersedia menelan dana minimal Rp1 miliar. Dana melonjak hingga tiga kali lipat jika di daerah terpencil (daerah USO) yang memiliki geografis menantang. Dana yang dibutuhkan untuk investasi awal BTS di 12.500 desa minimal Rp40 triliun. Dalam kondisi real di lapangan, jumlah yang diperlukan bisa saja membengkak.
“Kalau melihat dari video profil BAKTI yang membangun BTS di daerah terpencil menggunakan helikopter, maka biaya yang dikeluarkan mungkin bisa melonjak tiga kali lipat. Belum termasuk biaya operasional dan biaya transmisi. Jika tersedia fiber optic, maka biaya transmisi masih terjangkau. Kalau pakai satelit dan harus mengirim BBM untuk genset ke daerah terpencil maka biaya operasional juga akan tinggi,” ujar Merza.
Merza menjelaskan, untuk menikmati layanan broadband, minimal bandwidth yang dibutuhkan untuk transmisi mencapai 6 Mbps. Setiap mega bandwidth melalui satelit dibutuhkan biaya Rp30 juta. Jadi minimal biaya transmisi satelit yang harus dikeluarkan di daerah terpencil mencapai Rp180 juta.
Merza juga menyinggung pengadaan BBM untuk BTS USO yang mahal. Di wilayah yang tidak menantang, kata Merza, pembelian BBM dan perawatan BTS yang dikeluarkan operator telekomunikasi minimal Rp30 juta. Jika di daerah USO atau terpencil dengan geografis yang menantang maka biaya perawatan dan BBM juga akan membengkak.
Merza mengungkapkan, biaya operasional berupa sewa bandwidth, BBM, dan maintenance tersebut jika diperkirakan bisa lebih dari Rp 250 juta per bulan. Padahal pendapatan per BTS di daerah USO hanya Rp 7 juta hingga Rp 15 juta perbulan.
“Pemerintah harus mengalokasikan dana untuk operasional BTS USO lebih dari Rp3 triliun perbulan untuk memenuhi layanan broadband di 12.500 desa,” katanya.
Di sisi lain, Uchok meminta pemerintah berhati-hati mengeluarkan dana invetasi Rp40 triliun dan dana operasional Rp3 triliun per bulan. Pemerintah, kata Uchok, perlu mempertimbangkan subsidi pengadaan gadget berupa smartphone, tablet, laptop, dan/atau desktop bagi masyarakat buat mengkases internet.
“Hanya sebagian kecil masyarakat di 12.500 desa yang memiliki gadget. Tanpa itu, bisa dipastikan keberadaan jaringan telekomunikasi yang mahal tidak akan berdampak signifikan bagi masyarakat,” ujar Uchok.