Tak Cuma Jasmani, Kesehatan Digital Juga Perlu Diperhatikan
McAfee mengumumkan temuan dari laporan terbaru mereka, 2021 Consumer Security Mindset Report.
Laporan mengungkap bahwa walau pola hidup digital masyarakat Indonesia terbentuk karena pandemi, mereka akan tetap melakukan sebagian besar aktivitas secara online, seperti aktivitas sosial (80 persen), pengantaran makanan secara online (53 persen), perbankan online (52 persen) dan berbelanja online (51 persen).
Seiring dengan meningkatnya aktivitas online, netizen Indonesia juga makin rentan terhadap serangan kejahatan siber. Secara khusus, 8 dari 10 (80 persen) orang Indonesia mengatakan bahwa mereka khawatir dengan adanya risiko serangan siber, dan 2 dari 5 (40 persen) responden merasa bahwa mereka tidak mampu mencegah serangan siber.
Hampir seluruh penduduk Indonesia (96 persen) ingin adanya lebih banyak inovasi dan akses ke produk atau layanan online, dan dengan semakin banyaknya konsumen yang beralih ke dunia digital, penjahat siber pun tertarik untuk memanfaatkan momen ini.
Makin banyak waktu yang dihabiskan netizen Indonesia untuk berinteraksi secara online melalui berbagai aplikasi dan layanan, semakin besar pula risiko serangan siber (contoh: serangan siber pihak ketiga) dan ancaman (contoh: usaha phishing atau penipuan).
McAfee menemukan bahwa 81 persen responden Indonesia paling khawatir terhadap pencurian data keuangan pribadi. Sejumlah 80 persen responden juga khawatir bahwa informasi pribadi mereka, seperti tanggal lahir atau alamat, dapat diretas, dan khawatir bahwa perangkat mereka akan disusupi dengan ransomware atau spyware.
“Langkah pertama untuk menjaga diri dari serangan siber adalah mengetahui cara-cara yang dapat dilakukan untuk menjaga keamanan online dan kesehatan digital kita,” Ujar Terry Hicks, ECP McAfee’s Consumer Business.
“Mencegah selalu lebih baik dari mengobati. Semua orang dapat melakukan kebiasaan online yang aman, mulai dari aplikasi yang diunduh, situs yang dikunjungi, sampai dengan email yang dibuka. Mengubah pola pikir dan perilaku adalah hal yang sangat penting dalam melindungi privasi dan identitas diri kita.”
Kebiasaan berbelanja konsumen menunjukkan bagaimana mereka menjalani kehidupan digitalnya, dengan lebih dari dua pertiga (69 persen) responden mengatakan bahwa mereka telah membeli setidaknya satu perangkat terhubung di tahun 2020, sedangkan seperlima (14 persen) responden telah membeli tiga perangkat.
Meskipun lebih dari 91 persen responden mengkhawatirkan keamanan saat online, hanya 57 persen responden yang mengambil tindakan pencegahan dengan membeli perangkat lunak keamanan, sementara hampir 1 dari 2 (44 persen) responden tidak pernah memeriksa tanggal kadaluarsa perangkat lunak keamanan mereka, sehingga membuka celah bagi ancaman serangan siber.
Terlebih lagi, orang-orang berusia 55-74 tahun merasa bahwa mereka tidak punya kemampuan untuk mencegah serangan dunia maya jika dibandingkan dengan kelompok usia muda yang berusia 18-24 tahun.
Menurut Mcafee, hal yang mengkhawatirkan adalah kelompok usia tersebut juga paling kecil kemungkinannya membeli solusi keamanan. Hanya 40 persen responden melakukannya tahun lalu, berbeda dengan 65 persen dari kelompok usia 18-34 tahun.
Konsumen juga sudah merasa nyaman berbagi informasi di ranah online walaupun risikonya tinggi, terlebih dengan banyaknya layanan yang meminta data dan kontak pribadi. Laporan McAfee menemukan bahwa 92 persen responden sudah mulai menggunakan fitur online yang dirancang untuk kemudahan atau kenyamanan sejak tahun 2020.
Contohnya mengunduh aplikasi web atau seluler dibandingkan menggunakan situs desktop (62 persen), menggunakan fitur pemberitahuan atau notification melalui email atau SMS (55 persen), dan juga memilih untuk tetap masuk atau menggunakan fitur pengingat kredensial pengguna (44 persen).
Sejumlah 70 persen responden juga mengatakan bahwa mereka menggunakan dua atau lebih perangkat terhubung untuk beraktivitas online, yang semakin meningkatkan risiko serangan siber apabila perangkat tersebut tidak dilindungi.
Selain lalai keamanan siber, netizen Indonesia juga mengaku tidak tahu apa tujuan peretas mengambil data mereka. Satu dari tiga responden (35 persen) mengaku bahwa mereka tidak pernah tahu bahwa data mereka yang disimpan secara online bernilai tinggi.