Bukan Cuma Adopsi Teknologi, Transformasi Digital Harus Perhatikan Dampak Sosial
Transformasi digital selama dua tahun belakangan tidak hanya diserukan oleh kalangan bisnis yang mulai memahami efek adopsi teknologi terhadap performa perusahaan. Pemerintah juga sudah melihat masa pandemi sebagai momen percepatan transformasi digital di berbagai aspek kehidupan maupun sektor bisnis.
Teknologi yang sifatnya ditujukan untuk korporasi atau bisnis diyakini juga bisa memiliki social impact atau dampak sosial. Hal ini yang diyakini oleh Arsyah Rasyid, CEO dan Co-founder dari Kokatto.
“Social impact terbesar bisa dicapai dengan mengidentifikasi permasalahan atau painpoints serta mengembangkan teknologi yang mampu mengurangi bahkan menghilangkan permsalahan tadi,” ujarnya.
Kokatto yang berdiri sejak tahun 2014 menawarkan solusi automated communication yang membantu korporasi atau bisnis dan konsumen bisa berinteraksi dengan lebih efektif lewat layanan automated voice call, WhatsApp API, chatbot, voicebot, dan lain-lain.
Dia mencontohkan perkembangan layanan Gojek yang dahulu driver hanya mengantar penumpang kini siapapun yang bergabung bisa mencapai kesejahteraan dengan memanfaatkan teknologi serta solusi dari platform tersebut.
“Sama halnya juga dengan Kokatto dimana jika dulu banyak customer service agents harus melakukan pekerjaan notifikasi yang sangat manual kami mudahkan pekerjaannya dengan memberikan platform untuk berkomunikasi dengan customers yang lebih automated,” ungkap Arsyah.
Arsyah melihat bahwa urgensi transformasi digital pada perusahaan atau bisnis di semakin disadari dan tinggi seiring adanya perubahan customer behaviour dalam adopsi teknologi terkini.
“Dulu itu level kenyamanan mereka untuk adopsi teknologi baru jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun terakhir ini. Ini disebabkan oleh semakin banyaknya use cases dan real life applications terhadap teknologi kami di Indonesia jadinya customers kami pun semakin familiar dengan teknologi tersebut,” tuturnya.
“Jika dulu pada saat meeting dengan klien banyak yang masih belum mengenal produk kami, sekarang jika kita meeting hampir semuanya sudah paham basic dari produk kami dan tim kami hanya perlu memberikan penjelasan lebih detilnya,” lanjut Arsyah.
Arsyah tidak memungkiri bahwa ke depan pasti akan ada jenis pekerjaan yang sifatnya sangat manual dan tergantikan dengan komputer atau teknologi, misalnya di industri manufaktur. Namun dirinya selalu mempertimbangkan bahwa ada batasan pada teknologi yang tetap masih membutuhkan manusia.
“Kokatto selalu mengedepankan pentingnya simbolisme mutual antara teknologi dan manusia. Pada saat kami jualan pun kami selalu menginformasikan limitasi apa saja yang ada di produk kami yang mungkin akan lebih baik dilakukan jika menggunakan manusia,” kata Arsyah.
“Peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menciptakan akses yang mudah ke pelatihan-pelatihan dan pengembangan skill IT agar SDM kita terus berkembang dan tetap bisa bersaing di era selanjutnya. Selain itu juga penting untuk memperhatikan kurikulum pendidikan yang ada dimana sudah seharusnya pelajaran mengenai IT diberikan sedini mungkin,” jelasnya.
Arsyah menaruh harapan pada pemerintah dan Indonesia di usia ke-76 tidak cuma menghasilkan startup terbaik yang mengejar status unicorn hingga decacorn tapi juga mampu membuka lapangan kerja sebanyaknya sehingga berdampak ke peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Dengan dukungan ecosystem dan iklim yang positif dan stabil dari pemerintah tentunya akan secara otomatis memberikan keyakinan yang kuat untuk investor menanamkan modal di dalam negri dan melahirkan semakin banyak lagi pejuang-pejuang startup,” pungkasnya.