IDI Siapkan Naskah Akademik dan RUU
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menyiapkan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Hal itu dilakukan setelah revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran masuk dalam Program Legislasi Nasional 2017.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ilham Oetama Marsis seusai Diskusi Awal Tahun 2017, di Jakarta, Rabu (11/1), PB IDI telah memasukkan naskah akademik dan usulan RUU Pendidikan Kedokteran ke DPR. Namun, DPR meminta IDI memperjelas sasarannya. “Mereka bingung karena pakai bahasa kedokteran. Seharusnya memakai bahasa yang bisa dimengerti,” ujarnya.
Nantinya usulan RUU Pendidikan Kedokteran dari IDI tak hanya menghilangkan program dokter layanan primer. Usulan RUU itu juga memuat bagaimana mempercepat program pendidikan dokter dan dokter spesialis agar memenuhi kebutuhan, mengembalikan peran kolegium sebagai pengampu keilmuan.
Selain itu, rancangan tersebut memuat cara pemerataan dokter, langkah menyiapkan dokter berdaya saing global dengan penguasaan teknologi. Rancangan itu juga memuat penguatan dokter di sistem pelayanan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Arief Wibowo memaparkan, jika UU Pendidikan Kedokteran direvisi, ada setidaknya sembilan UU lain yang isinya perlu diharmonisasikan, di antaranya UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Pendidikan Tinggi. “IDI harus menyiapkan masukan yang bisa dipahami pengambil keputusan,” ujarnya.
Arif menekankan, IDI perlu memahami, proses legislasi ialah proses politik, pertarungan ideologi, politik, dan kepentingan pragmatis. Jadi, IDI perlu bekerja sama dengan kekuatan strategis yang berkomitmen sama dan memberi dukungan konkret.
Pendidikan kedokteran
Ketua Divisi Pendidikan Profesi Kedokteran Konsil Kedokteran Indonesia Sukman T Putra mengutarakan, ada sejumlah masalah dalam pendidikan kedokteran saat ini. Selain masalah terkait pemenuhan kebutuhan tenaga pengajar, diperlukan pula pemenuhan sarana prasarana dan dukungan finansial.
Untuk mencapai rasio pengajar dan mahasiswa yang ideal, seharusnya fakultas kedokteran tak perlu banyak seperti saat ini. “Terlalu banyak fakultas kedokteran berdampak pada mutu yang tak sesuai harapan,” ucapnya.
Selain itu, masih ada kendala terkait ketersediaan rumah sakit pendidikan dan fasilitas yang memadai. Seharusnya tiap fakultas kedokteran memiliki RS pendidikan sendiri. Faktanya, banyak fakultas kedokteran, termasuk di perguruan tinggi negeri, belum punya RS pendidikan.
Menurut Sukman, fakultas kedokteran bisa bekerja sama dengan RS pelayanan yang ditunjuk Kementerian Kesehatan sebagai RS pendidikan. Namun, itu tak bisa selamanya. Satu RS bisa bekerja sama dengan hingga lima fakultas kedokteran. “Ada peraturan konsil kedokteran yang merekomendasikan pembukaan program studi kedokteran. Namun, rekomendasi ini kerap tak diikuti pemerintah,” ujarnya.
Sekarang, banyak perguruan tinggi membuka fakultas kedokteran karena program studi kedokteran dianggap sebagai sumber untuk mendapatkan uang. Hal itu mengakibatkan mutu pendidikan kedokteran terabaikan. (ADH)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “IDI Siapkan Naskah Akademik dan RUU”.