Mengungkap Intrik Reklame di Kota Bandung
Dunia pereklamean di Kota Bandung. Pada usianya yang sudah memasuki kepala enam, ia merekam dengan baik jatuh-bangun bisnis dengan perputaran uang ratusan miliar rupiah saban tahun tersebut. Wid tahu rencana Wali Kota Ridwan Kamil membersihkan Jalan Dago dan Jalan Asia Afrika dari reklame. Ia juga tahu kontroversi seputar bando videotron di Jalan Merdeka. Ia meyakini bahwa Agung Niskala, sang pemilik reklame, merupakan ”pengusaha taat aturan” yang apes karena dokumen perizinannya dipersulit.
”Saya tahu Agung. Dia pengusaha baru yang taat aturan. Diminta bongkar, ya bongkar. Kasihan dia,” kata Wid di sebuah restoran berusia 80 tahun di Jalan Aceh, Bandung, Selasa 7 Maret 2017 siang. Wid, pemilik CV Sumber Sarana Promo, memulai karier sebagai pegawai sebuah biro reklame di Jakarta pada 1982. Setelah dua warsa menimba ilmu dengan ”ikut orang”, ia kembali ke Bandung dan merintis usaha sendiri. Baru ada segelintir biro reklame kala itu.
Bisnis reklame belum dilirik sebagai penyumbang signifikan pendapatan Pemerintah Kota Bandung yang ketika itu dipimpin Ateng Wahyudi. Belum ada seperangkat aturan khusus yang dibuat. Pengurusan izin reklame begitu mudah. Lokasinya tergantung pada ajuan para pengusaha.
Meski longgar, Wid ingat betul bahwa Ateng (Wali Kota Bandung periode 1983-1993) mewanti-wanti para anak buahnya agar tidak sekali-kali memberikan izin pemasangan reklame di Jalan Cipaganti dan Jalan Babakan Siliwangi. Wid mengaku pernah coba-coba mengajukan pemasangan titik reklame di ujung Jalan Tamansari, tepat di pertemuan dengan Jalan Babakan Siliwangi, tetapi buru-buru petugas memintanya beralih lokasi.
Di awal dekade 1990, bisnis reklame semakin menjanjikan, terutama didongkrak oleh iklan-iklan properti. Pemkot Bandung menangkap peluang itu dengan mengalihkan pengelolaan reklame, dari dinas pendapatan daerah (dispenda) ke dinas pertamanan. Pembongkaran spanduk dan baliho liar mulai menjadi program rutin pemkot.
Keluar dari hantaman krisis moneter pada 1997, pesona bisnis reklame makin mencorong mulai awal dekade 2000. Meledaknya layanan kredit uang muka murah sepeda motor, diikuti menjamurnya penggunaan telefon seluler, menjadi penyokong utama. Para pengusaha dari luar kota, terutama Jakarta, mulai melirik peluang usaha di Bandung.
Isu serbuan biro reklame luar kota tersebut menjadi perbincangan panas para pengusaha lokal. Pada 2001, mereka bersepakat membentuk Asosiasi Pengusaha Reklame (Asper) Kota Bandung. Anggotanya sekitar 30 biro reklame. Wid ditunjuk sebagai ketua umum. ”Bayangkan kalau sampai kita yang orang Bandung, mau pasang reklame di Bandung, tapi sewanya ke orang Jakarta. Itu kan menyedihkan,” ucap Wid.
Asper boleh jadi sanggup membendung serbuan biro reklame luar kota. Saat ini, dari total 90-an biro reklame yang ada di Bandung, jumlah biro dari luar kota masih dalam hitungan jari. Yang tak sanggup dibendung Asper adalah serbuan kelompok dan oknum yang nantinya bakal menjadi ”para penunggu” bisnis basah penyelenggaraan reklame.
Salah seorang pengusaha reklame senior bercerita tentang serbuan yang dimulai pada 2005 tersebut. Pangkal penyebabnya adalah kebijakan pemberantasan praktik perjudian dalam program 100 hari pertama kepemimpinan Kapolri Sutanto. Jenderal polisi bekas ajudan Presiden Soeharto itu tak main-main dengan programnya.
”Semua tempat judi dan togel digulung. Tak ada yang beroperasi lagi. Ormas, OKP (organisasi kemasyarakatan dan pemuda), oknum (anggota) DPRD, oknum pejabat pemerintah, semua yang sebelumnya hidup dari bisnis ini pindah gerbong. Mereka masuk ke (bisnis) reklame, jadi mafianya,” tutur sumber ”PR” yang pernah memiliki lebih dari 20 titik reklame di Bandung tersebut.
Masuknya gerbong gemuk ini membuat penyelenggaraan bisnis reklame makin kusut, baik di lapangan maupun di perizinan. Untuk mendapatkan izin titik baru reklame, pengusaha menyodorkan nama besar ormas dari balik map. Tanpa itu, izin tak bakal pernah terbit.
Wid Sunarya mengungkap, setoran ke pejabat ketika itu bukan lagi rahasia. Setiap kali ada pertemuan, ia selalu menyiapkannya. Kadang permintaan bisa disampaikan tiba-tiba lewat panggilan telefon. ”Pakai istilahnya ’pohon’ atau ’buku’. Jadi, mereka bilangnya, minta dikirim sekian ratus pohon atau buku. Ya, saya harus siapkan,” ujarnya.
Praktik di lapangan sama saja. Untuk bisa memasang tiang reklame, pengusaha harus ”membereskan” urusan dengan semua yang berkepentingan di titik tersebut. Kalau ada satu saja yang tidak kebagian jatah, naskah reklame bisa diturunkan sewaktu-waktu. ”Setiap ada pemasangan titik reklame baru, semua datang mengerubuti. Seperti laron ketemu lampu,” ucapnya.
Saat ini, Wid berancang-ancang menjemput masa pensiun. Sang putra tunggal, yang sekarang menuntaskan pendidikan S2 di Sekolah Bisnis Managemen ITB, ia siapkan sebagai penerus. Perusahaan Wid, CV Sumber Sarana Promo, telah menancapkan kiprahnya tak hanya di Bandung, tapi juga di berbagai kota dan kabupaten lain di Jawa Barat.
KESAKSIAN lebih gamblang tentang semrawutnya perizinan reklame disampaikan Mahdi Quintana. Pada November 2010, ia mengunggah kegeramannya dalam sebuah artikel di blog Kompasiana.
Mahdi panjang lebar menjelaskan bagaimana ia kapok mengurus izin reklame di lingkungan Pemkot Bandung meski uang jasa dari pengiklan tidak kecil. Praktik buruk KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) ia temukan di setiap meja petugas yang didatangi. Akibatnya, pemohon izin harus mengeluarkan dana belasan kali lebih mahal.
Ia mencontohkan pengalaman mengurus dokumen izin dan tagihan pajak sebuah kotak neon berukuran 1 x 2 meter di sebuah jalan utama di Kota Bandung. Dalam surat keputusan pajak daerah (SKPD) yang ia terima, tertera tagihan Rp 1,2 juta untuk jangka satu tahun. Oknum pegawai pemkot tanpa malu-malu memintanya menyerahkan uang Rp 15 juta.
”Semua yang saya tuliskan itu benar adanya. (Tulisan itu) Bukan sok-sokan. Saya bahkan masih bisa merasakan betapa geram, jengkel, dan marahnya saya pada birokrasi perizinan kita waktu itu,” ucapnya ketika ditemui di rumah sekaligus bengkel kerjanya di Jalan Cikaso, Bandung, Jumat 3 Maret 2017 siang.
Mengusung bendera CLid Design and Art, Mahdi memasuki dunia periklanan pada tahun 2000. Dua tahun kemudian, keadaan memaksanya mengurusi juga dokumen-dokumen perizinan reklame. Jadilah ia mondar-mandir dari satu kantor dinas ke kantor dinas yang lain. Waktu itu layanan perizinan di Kota Bandung belum menerapkan sistem satu pintu.
Pengajuan izin harus melewati beberapa meja. Di setiap meja, mulai dari tukang tik, tukang cap, hingga kepala kantor, Mahdi harus menyerahkan sejumlah uang. Pungutan berjemaah ini terjadi berjenjang, dari level paling bawah ke level paling atas. ”Satpam pun harus dapat jatah. Kalau tidak, seenaknya dia akan mengatakan petugas sedang keluar atau sedang rapat,” katanya.
Mahdi tak kuat lebih lama lagi bertahan di bisnis basah ini. Setahun setelah tulisannya muncul di blog, ia memutuskan berhenti total mengurus izin reklame.
Mahdi beralih menekuni kegemaran yang sempat ditinggalkannya: musik. Mahdi merupakan orang di balik festival ”Bandung Blues in the Art” di Gedung RRI pada 2013. Belakangan, ia aktif menjadi panitia penyelenggara konser musik. Bengkel sekaligus rumahnya di Jalan Cikaso tidak pernah sepi dari anak-anak band.
Selain tenggelam dalam kegiatan bermusik, Mahdi juga menyibukkan diri dengan sepetak kebun sayur yang ia miliki di daerah Maribaya, Kabupaten Bandung Barat. Ia rutin memasok sebagian hasil panen ke supermarket di Bandung. Bertani di kedinginan udara Bandung utara membuatnya merasa lebih santai menjalani hidup.
”Duit dari reklame memang jauh lebih besar. Namun, saya bahagia dengan apa yang saya kerjakan sekarang,” kata pemilik rambut ikal gondrong ini sembari tersenyum lebar.
Sejak 2011, tahun ketika Mahdi meninggalkan bisnis reklame, Pemkot Bandung setahap demi setahap menyempurnakan sistem layanan perizinan satu pintu. Nama kantornya gonta-ganti, dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) menjadi, sekarang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Terobosan terbaru mereka adalah layanan aplikasi perizinan yang bebas diunduh warga ke telefon pintar mereka masing-masing.
”Saya sudah lama sekali tidak berurusan dengan perizinan. Saya tidak tahu apakah sekarang ada perubahan mutu layanan atau masih sama saja,” ucapnya.
Mahdi tak harus membuktikannya sendiri. Jumat 27 Januari 2017 sore, polisi menggelar operasi tangkap tangan enam pegawai DPMPTSP Kota Bandung. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pelaku pungutan liar dengan barang bukti uang senilai hampir Rp 1 miliar. Selain sang kepala dinas, polisi juga menggelandang kepala Bidang IV. Selain trayek, usaha angkutan, dan parkir, bidang ini bertanggung jawab mengurusi izin reklame.
Sumber : PikiranRakyat