Minimarket Semakin Menjamur
Pemerintah Bandung Barat semestinya membikin kajian untuk membatasi perkembangan minimarket. Soalnya, minimarket kian masif dari wilayah perkotaan hingga ke perdesaan. Penyebaran minimarket yang tidak dibatasi justru akan mematikan pelaku usaha tradisional, menimbulkan kesenjangan pendapatan, serta meningkatkan kemiskinan dan pengangguran.
Demikian disampaikan pakar ekonomi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Acuviarta Kurtubi, saat dihubungi Pikiran Rakyat, Jumat 16 Juni 2017. Setelah diatur dalam undang-undang dan peraturan menteri perdagangan, kata Acuviarta, pembatasan minimarket harus pula diatur oleh kepala daerah.
“Pengaturannya itu sangat tergantung dari bupati atau wali kota. Secara hukum, memang harus ada zonasi. Harus dijaga juga agar minimarket ini tidak menjadi pesaing berat toko/pasar tradisional. Ibarat Persib lawan MU, ini enggak sebanding. Jadi, para pelaku usaha tradisional juga harus dilindungi. Ini kembali ke pemerintah daerah, bagaimana keberpihakannya,” katanya.
Selain pembatasan jarak antara minimarket dengan toko/pasar tradisional, menurut Acuviarta, jumlah minimarket juga harus dibatasi. Walaupun kehadiran minimarket menandakan adanya pertumbuhan ekonomi, minimarket yang terlalu banyak di suatu wilayah malah dapat menimbulkan banyak dampak negatif.
Menimbulkan kesenjangan
“Ada pertumbuhan ekonomi itu pasti. Namun, jangan sampai pertumbuhan ekonomi itu malah menimbulkan kesenjangan, seperti di Kota Bandung. Pertumbuhan ekonomi 7,9 persen, tapi ketimpangan pendapatannya tinggi. Kenapa, karena ekonomi yang tumbuh itu tidak diimbangi dengan redistribusi pendapatan,” tuturnya.
Dia menjelaskan, ketika masyarakat bertransaksi di minimarket, maka uangnya akan mengalir ke investor. Berbeda halnya ketika masyarakat bertransaksi di toko/pasar tradisional, maka uangnya tetap akan berputar di wilayah tersebut. Hal itu karena pelaku usaha toko/pasar tradisional memang penduduk setempat.
“Yang punya toko-toko modern di desa-desa, di kampung-kampung, itu kan bukan orang kampung, melainkan orang yang berinvestasi. Jadi, uangnya juga tidak berputar di kampung atau desa tersebut. Berbeda halnya kalau kita membeli di warung tradisional yang punya orang kampung, kan uangnya tetap berputar di kampung itu juga,” kata Acuviarta menjelaskan.
Kajian untuk membatasi jumlah minimarket di suatu wilayah, imbuhnya, bisa dilihat dari sejumlah faktor. Di antaranya, luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat, atau stabilitas harga. Instansi terkait di Pemerintah Kabupaten Bandung Barat juga harus saling terkoordinasi dalam menjalankan kewenangannya. Sehingga para pelaku usaha tradisional dapat terlindungi.
“Pada intinya, minimarket ini harus dikelola dengan hati-hati. Jangan sampai mematikan usaha masyarakat tradisional. Soalnya, pengaturan atau pengelolaan yang salah justru akan menimbulkan kesenjangan ekonomi, dan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran,” katanya.
Pemkab ikut terkejut
Berdasarkan pantauan, penyebaran minimarket di Bandung Barat semakin tak terkendali. Hal tersebut diakui oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu KBB Ade Zakir. Dia bahkan sempat kaget karena suatu waktu mendapati ada minimarket baru yang beroperasi. Padahal, menurut dia, sepanjang tahun lalu DPMPPTSP KBB hanya memproses belasan Izin Usaha Toko Modern (IUTM).
“Memang soal minimarket ini kami harus duduk bersama dengan satuan kerja terkait. Kalau situasi di sini sudah nyaman, kami akan berinisiatif untuk membahasanya bersama-sama. Soalnya, saat ini di DPMPPTSP ada beberapa hal yang perlu dibenahi, seiring dengan perubahan susunan organisasi dan tata kerja. Nah, dibahas bersama-sama ini karena penerbitan IUTM itu perlu izin-izin lainnya, yang izinnya itu melibatkan satuan kerja lainnya,” katanya.
Sumber : PikiranRakyat