Anak Hiperaktif ini Jadi Mahasiswa ITB Umur 14 Tahun
Setiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihan. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memperbaiki kelemahan serta mengoptimalkan segala kelebihan itu. Mungkin itulah yang terjadi pada Musa Izzanardi Wijanarko, remaja berusia 14 tahun yang tahun ini bisa berkuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Sejak kecil, remaja yang bisa disapa Izzan itu adalah seorang yang hiperaktif.
Izzan adalah anak dari pasangan Mursid Wijanarko (46) dan Yanti Herawati (46). Bagi keluarga Izzan, bersekolah di ITB sudah menjadi tradisi turun temurun. Kedua orangtua dan kakaknya, Nadira Nanda (19) bersekolah di perguruan terbaik di Indonesia tersebut.
Sejak kecil, Izzan tergolong anak yang hiperaktif. Kakak dan adiknya tidak demikian. Apa yang dilakukan kedua orangtuanya mungkin yang dapat dijadikan contoh bagi para orangtua lain yang memiliki anak hiperaktif seperti Izzan.
Yanti menceritakan, sekitar 4 minggu setelah dilahirkan, Izzan didiagnosis memiliki kelainan pada katup lambungnya yang tak bisa menutup. Izzan lantas menghabiskan masa bayi dari satu terapi ke terapi lain. Semakin besar, gerak-gerik Izzan mulai menunjukkan keanehan. Saat balita, Yanti pun menyadari bahwa Izzan merupakan anak yang tak bisa diam.
Supaya perilakunya berubah, pada umur 6 tahun Izzan diajarkan membaca Iqra. Ternyata, Izzan langsung bisa menghafalnya tanpa perlu mengulang bacaan. Mengetahui Izzan tertarik dengan angka-angka, Yanti lantas mencoba mengajarkan pelajaran matematika. Daya tangkap Izzan rupanya sangat cepat, karena mampu mengerjakan soal matematika yang biasa dikerjakan anak seumuran 15 tahun.
“Sejak TK, Izzan suka melakukan hal-hal yang aneh. Ballpoint yang ada pernya itu dia bongkar, diambil pernya. Banyak peralatan di rumah yang dioprek, tapi kalau benda yang enggak disukai langsung dilemparkan, dibanting, terus dipukuli. Tingkahnya itu aneh, tapi saya biarkan,” kata Yanti. Ia ditemui di rumahnya di Kampung Tugu Laksana, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu.
Yanti memperhatikan, Izzan ternyata bukan sekadar mengoprek barang-barang, tetapi juga menganalisis efek atau reaksi dari percobaan yang dilakukannya. Sadar bahwa Izzan tertarik pada matematika, Yanti kemudian menerapkan bimbingan belajar di rumah (homeschooling) kepada Izzan. “Pernah waktu tengah malam, Izzan tiba-tiba bangun dan minta diajarkan. Ya harus sabar, saya hanya mengikuti maunya dia. Jadi, dia itu biasanya baru mau belajar kalau sudah capek beraktivitas. Dalam sehari itu belajarnya paling dua jam, tapi enggak sekaligus. Sebelum belajar itu wajib main dulu,” tuturnya.
Dididik dengan ketekunan dan bimbingan ibunya, pada usia 9 tahun Izzan bisa lulus ujian Paket A atau pendidikan tingkat SD. Setahun berikutnya, Izzan lulus ujian Paket B atau pendidikan tingkat SMP di Tangerang Selatan. Pada 2014, ketika Izzan bermaksud mengikuti ujian Paket C atau pendidikan tingkat SMA, rupanya tak ada satu pun sekolah yang mau menerimanya.
Agar tak frustrasi, Yanti dan Mursid mengalihkan kegiatan belajar Izan menjadi aktivitas di luar ruangan. Waktunya kemudian dihabiskan untuk mendaki beberapa gunung. Salah satunya adalah Gunung Gede dan Gunung Rinjani. “Saya bilang ke dia, tahun depan harus dicoba ikut ujian lagi. Dia terus dimotivasi,” kata Yanti, lulusan Teknik Planalogi ITB.
Saking besar keinginan Izzan untuk ikut ujian, Yanti terus mengupayakannya lewat Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementerian Pendidikan. Ijazah Paket C akhirnya diperoleh Izzan pada 2016, yang kemudian jadi bekal untuk mendaftar ke perguruan tinggi. “Sempat cemas karena Izzan tak pernah sekolah formal, tapi biarlah coba daftar dulu. Anaknya juga keukeuh mau kuliah,” katanya.
Sempat gagal pada 2016, tahun ini Izzan pun berhasil lolos masuk ke Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB. Yanti tak memungkiri ada perasaan waswas melepas Izzan memasuki pendidikan formal dan lingkungan sosial yang berbeda umur. Akan tetapi, dia percaya bahwa anaknya bisa melewatinya.
“Kisah Izzan ini juga sudah saya tulis dakan sebuah buku. Judulnya ‘Melihat Dunia’ yang diterbitkan Bentang Pustaka pada Mei 2016. Di buku itu saya tulis semua tentang Izzan, dari mulai dia kecil sampai seperti ini. Saya percaya cara Izzan melihat dunia tidak sama dengan kebanyakan orang. Izzan melihat dunia dengan cara yang luar biasa,” katanya.
Sementara itu, Izzan menyatakan setelah lulus kuliah nanti ingin menjadi seorang ilmuwan. Sambil menunggu masa kuliah yang dimulai pada Agustus 2017 nanti, remaja berkacamata itu sesekali menghilangkan kejenuhan di rumah dengan bermain piano. Di lingkungan tempat tinggalnya, dia jarang bergaul dengan tetangga, karena pernah dianggap sebagai anak yang aneh.
“Awal tinggal di sini, saya pernah di-bully, sampai berkelahi dengan teman. Saya pernah didorong sewaktu bermain bola, malah pernah dibilang orang gila juga,” katanya. Kendati demikian, dia meyakini pengalaman tak mengenakannya semasa kecil tak akan dialaminya lagi.
Sumber : Pikiran Rakyat