Dilema Refund Aplikasi Travel di Tengah Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menghantam banyak sektor bisnis. Salah satu sektor yang paling terkena dampaknya adalah perjalanan & pariwisata.
Pada bulan Maret, Direktur WTTC Gloria Guevara mengatakan wabah ini menghadirkan ancaman serius bagi industri pariwisata. Menurut perkiraan WTTC, sektor pariwisata akan mengalami penyusutan hingga 25 persen pada tahun 2020.
WTTC juga mencatat bahwa sektor ini terancam kehilangan 100 juta pekerjaan dan berkontribusi untuk menggerus PDB dunia hingga USD2,7 triliun (Rp39 kuadriliun). Dampak dari kondisi ini mencapai 5 kali lebih parah dibandingkan dengan dampak krisis moneter global di tahun 1998.
Larangan penerbangan selama beberapa waktu yang telah digelar oleh pemerintah dan otoritas terkait merupakan salah satu langkah untuk pencegahan penyebaran Covid-19. Namun, di sisi lain, ini juga menyebabkan banyak orang yang membatalkan rencana perjalanan atau penerbangan mereka, baik itu untuk tujuan bisnis atau liburan.
Situasi ini bisa dibilang merupakan tantangan berat bagi para penyedia layanan wisata digital. “Perlu dipahami selama masa pandemi Covid-19, permintaan bantuan yang masuk ke customer care (layanan pelanggan) tiket.com mengalami lonjakan yang sangat signifikan,” kata Public Relation Manager tiket.com, Metha Tri Rizka, melalui keterangan resmi, Senin, 6 April 2020.
Hal yang sama juga dialami oleh Traveloka. “Sejak Februari 2020 lalu, Traveloka mengalami peningkatan yang signifikan untuk permintaan bantuan dari para pengguna, terutama untuk refund dan reschedule tiket pesawat dan hotel. Dengan volume yang mencapai 10 kali lipat dibandingkan situasi normal,” kata Chief Marketing Officer Traveloka Dionisius Nathaniel.
Dengan banjirnya jumlah permintaan untuk refund ini, muncul masalah baru. Melalui berbagai media sosial, beberapa konsumen mengeluhkan sistem refund atau pengembalian uang yang perlu waktu lebih lama untuk dipenuhi oleh agen travel & maskapai.
Namun, apabila ditelusuri lebih lanjut, jangka waktu yang lama ini tidak terlepas dari penumpukan permintaan refund yang sangat banyak dalam waktu yang bersamaan. Untuk kasus agen travel, mereka juga harus melakukan komunikasi dengan pihak maskapai dan menunggu persetujuan terlebih dahulu sebelum dapat memproses refund konsumen.
Tak jarang konsumen juga menerima informasi yang berbeda antara maskapai dan agen travel akibat seringnya perubahan kebijakan maskapai seiring perkembangan situasi pandemic Covid-19.
Sejatinya, di tengah kondisi pandemi ini, agen travel mengaku kesulitan untuk mengembalikan uang konsumen, karena berkaitan dengan arus kas atau cashflow yang dialami seluruh industri.
Jika melihat mekanisme transaksi yang dilakukan konsumen lewat agen travel, para penyedia layanan wisata ini sebenarnya telah ‘menanam modal’ terlebih dulu pada maskapai yang diajak kerja sama.
Modal yang disebut Top Up Balance ini kemudian dipotong oleh maskapai sesuai dengan pembelian tiket pesawat oleh konsumen via agen travel. Saat modal berbentuk Top Up Balance ini telah dikantongi oleh maskapai, maka modal ini tidak dapat dikembalikan lagi kepada agen travel dalam bentuk cash atau bentuk apapun.
Ketika konsumen yang membeli tiket melalui agen travel mengajukan refund, maka agen travel langsung memproses kelengkapan data yang kemudian diteruskan kepada pihak maskapai. Setelah maskapai menyetujui refund, maka maskapai mengembalikan dana berupa Top-Up Balance ke agen travel.
Di situasi pandemi saat ini, beberapa maskapai juga memutuskan untuk mengembalikan refund dalam bentuk Travel Voucher. Untuk setiap refund yang diajukan konsumen, agen travel akan “menalangi” terlebih dahulu dan dapat dengan cepat mengembalikan dana kepada konsumen dalam bentuk uang tunai dengan menggunakan tunai milik agen travel.
Hal ini bisa terjadi karena masih terdapat penjualan atau transaksi, sehingga pengembalian dana oleh agen travel yang memanfaatkan hasil dari transaksi yang terjadi ini dapat diproses dalam waktu yang wajar.
Sayangnya, tingginya permintaan refund di tengah tidak adanya transaksi yang terjadi selama pandemi menyebabkan agen travel kesulitan untuk menerapkan skema yang sama. Ditambah lagi, maskapai tidak bisa memberikan refund yang diajukan oleh agen travel dalam bentuk cash.
Ini karena maskapai menggunakan dana tersebut untuk biaya operasional yang terus berjalan, sementara jumlah penumpang hampir tidak ada di tengah pandemi Covid-19.
“Seluruh maskapai saat ini mengalami kesulitan likuiditas akibat minimnya angka penjualan dan masih terbebani dengan biaya operasional, sehingga memutuskan untuk melakukan pengembalian tiket dengan menggunakan voucher refund untuk maskapai internasional atau top up deposit untuk maskapai domestik,” jelas Sekjen DPP Astindo Pauline Suharno beberapa waktu lalu.
Pengamat penerbangan Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, lewat kicauan Twitter, membahas tentang seluk beluk mekanisme refund antara maskapai dengan agen travel.
Dirinya menceritakan pengalamannya ketika belasan tahun lalu sempat bekerja dengan sebuah agen travel dan sempat kesulitan mengembalikan refund dalam bentuk uang tunai.
“Kalau kita beli tiket ke travel agent, maka travel agent akan memprosesnya ke maskapai lalu maskapai akan mengurangi saldo dari Top Up Balance senilai tiketnya. Lebih praktis karena tidak perlu bawa cash ke maskapai, tapi Top Up Balance ini tidak bisa dicairkan lagi menjadi uang tunai.”
“Nah kalau ada refund, travel agent mengajukan refund ke maskapai dan maskapai akan mengembalikan refund tersebut kepada travel agent dalam bentuk saldo kredit Top Up Balance tadi. Maskapai tidak memberikan refund ke travel agent dalam bentuk cash,” ujar Gerry.
Gerry juga berharap agar konsumen dapat lebih memahami dan bersabar setelah membaca penjelasannya, karena seluruh pihak sedang sama-sama dalam kondisi yang sulit.
Menurutnya, ada baiknya maskapai dan travelagent menyeleksi kasus-kasus refund mana yang layak diberikan cash (misal beli tiket karena musibah), dan yang memang beli tiket untuk sekedar jalan-jalan bisa pakai travel voucher.
Untuk konsumen juga diharapkan bisa lebih seandainya proses refund menjadi lebih lama. “Bukan konsumen sendiri, maskapai sendiri, travel agent sendiri dan hotel sendiri. Travelling membuat kita lebih apresiasi keindahan dan keragaman dunia. Semoga kita lebih saling mengerti dan bersabar menghadapi tantangan ini bersama,” tutup Gerry.