Investasi Syariah Demi Hidup Lebih Berkah
Investasi Syariah Demi Hidup Lebih Berkah. Investasi merupakan salah satu cara bagi masyarakat untuk mengontrol pendapatan. Dengan berinvestasi, jumlah uang yang dikumpulkan bisa bertambah gemuk. Ibarat pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Ada berbagai macam investasi yang marak beredar di masyarakat, mulai dari reksa dana, saham, obligasi, hingga deposito. Masing-masing instrumen tersebut memiliki risiko yang berbeda-beda.
Investasi penting bagi siapapun, terutama bagi mereka yang memiliki rencana masa depan. Seperti, membeli rumah, mobil, melanjutkan pendidikan ke tingkat tinggi, liburan ke Eropa, hari tua, dan lain sebagainya. Namun, perlu diketahui, ada kalanya pilihan investasi yang ada saat ini belum sesuai dengan syariat Islam.
Ya, bagi umat Islam, kelompok beragama terbesar di Indonesia, investasi harus sesuai dengan syariat Islam. Hal itu tertulis dalam surat Ali-Imron ayat 30 menyebut bahwa orang-orang beriman dilarang mengambil riba yang berlipat ganda untuk menjaga diri dari api neraka.
Namun, di sisi lain, terdapat pula perintah bagi umat manusia untuk berinvestasi. Surat Al-Baqarah ayat 261 berbunyi: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.
Ustaz Yusuf Mansur, salah satu penceramah menyebut bahwa dalil mengenai investasi tercantum di dalam Surat Al-Jumuah ayat 10 yang menerangkan, apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Tak hanya salat, aktivitas ekonomi juga berkaitan dengan ibadah haji, rukun Islam lain. Ia mengutip surat Al-Hajj ayat 28 yang menyebut bahwa umat bisa menyaksikan manfaat kala menunaikan haji, yang kerap ditafsirkan sebagai perniagaan.
Oleh karena itu, umat Islam tentu masih bisa menikmati investasi yang bermanfaat secara lahir dan batin. Apalagi, saat ini, sudah banyak instrumen investasi yang beredar. Namun demikian, umat Islam masih harus cermat dalam memilih.
Saat ini, produk investasi syariah terdiri dari saham syariah, obligasi syariah, reksa dana syariah, dan tabungan syariah. Prinsipnya, memilih instrumen investasi syariah sama saja dengan instrumen konvensional. Masyarakat tentu perlu tahu terlebih dulu mengenai tujuan berinvestasi.
Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan, masyarakat juga diharapkan paham mengenai konsep berbisnis dalam syariah. Salah satunya, mempelajari kriteria investasi syariah melalui fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang mudah diakses.
Sebagai contoh, fatwa mengenai tata cara reksa dana syariah tercantum di dalam fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001. Di fatwa itu, DSN MUI tidak memperbolehkan manajer investasi untuk menempatkan dananya di usaha perjudian, lembaga keuangan konvensional, produksi makanan haram, dan produksi barang-barang yang memberikan mudarat.
Meski demikian, ia menyebut imbal hasil investasi syariah kadang lebih kecil dibanding investasi konvensional. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya pilihan investasi syariah ketimbang konvensional. Sebagai contoh, saham sektor perbankan yang cukup melejit baru-baru ini tentu tidak bisa dinikmati jika memilih instrumen investasi syariah.
Tak cuma saham sektor perbankan, investasi berbasis syariah juga dipastikan tidak akan kecipratan cuan dari mengilapnya pergerakan saham rokok. “Makanya, tidak heran banyak yang berinvestasi syariah ini tidak didasari motif imbal hasil. Lebih ke arah kenyamanan dan takut dosa jika menggunakan konvensional.
Senada, perencana keuangan Tatadana Consulting Tejasari Assad mengatakan, kadang imbal hasil reksa dana syariah lebih kecil 5 persen hingga 10 persen dibanding reksa dana konvensional. Pilihan produknya terbatas dan belum begitu berkembang di Indonesia.
Meski begitu, ia menganggap risiko investasi syariah ini tetap lebih kecil dibanding konvensional seiring syarat yang ketat. Menurut Tejasari, himpunan dana masyarakat ini tidak akan lari ke perusahaan abal-abal karena investasi syariah memberlakukan syarat-syarat keuangan tertentu.
Sebagai contoh, perusahaan penerbit saham syariah harus memiliki total utang yang berbasis bunga tidak boleh lebih dari 82 persen dari total ekuitas. Selain itu, total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya tidak boleh lebih dari 10 persen ketimbang total pendapatan.
“Risiko syariah ini memang lebih rendah, karena keharusan utangnya juga lebih rendah. Selain itu, bisnisnya kan juga harus halal. Ya, memang risikonya lebih rendah. Tapi kadang kenyataannya, kalau nilai saham syariah lagi turun, turunnya tinggi banget,” katanya.
Namun, kembali lagi, masalah risiko sebetulnya juga bergantung dari cara memilih instrumen investasi. Jika masyarakat memilih reksa dana, maka masyarakat agak tenang karena himpunan dananya diatur oleh manajemen investasi.
Namun, jika masyarakat berinvestasi di saham, maka risikonya juga jauh lebih besar karena masyarakat tak menggunakan bantuan pihak ketiga dalam mengoperasikannya. “Tentu kalau bicara risiko, kembali lagi ke profil risiko. Masyarakat lebih suka investasi yang seperti apa,” ungkap Tejasari.
Meski masih terbatas, ia meyakini tren investasi syariah ke depan akan semakin moncer. Sebab, semakin banyak orang menyadari bahwa dibutuhkan keseimbangan antara dunia dan akhirat dan lebih menekankan sisi keamanan investasi. Bahkan, investasi syariah sangat berkembang di negara-negara maju, seperti Inggris seiring meningkatnya kesadaran akan investasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Muslim sadar, walau pun return (hasil investasi) lebih kecil, tapi ya tidak masalah. Sekarang juga di sekuritas banyak pilihannya, dan perbankan juga banyak yang menawarkan produk syariah,” pungkasnya