Keberanian Mahasiswa Dalam Berpolitik

Keberanian Mahasiswa Dalam Berpolitik

Nurul Yunita barangkali menjadi gambaran umum mahasiswa zaman sekarang dalam menyikapi politik. Mereka tak tertarik, bahkan cenderung antipolitik. ”Politik atau pilkada (pemilihan kepala daerah) malah memecah belah umat. Para politikus belum mencerminkan sportivitas dan cenderung menghalalkan segala cara demi menang,” ujar mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia itu kepada ”Kampus” di Bandung, Senin, 15 Januari 2018.

Merunut definisinya, politik merupakan upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, ekspos praktik-praktik tak terpuji para politikus di media massa maupun media sosial pada akhirnya memunculkan antipati sejumlah kalangan, termasuk mahasiswa.

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, bahkan mengamati banyaknya golongan skeptis di kalangan mahasiswa. Mereka yang skeptis tidak peduli ketika daerahnya membutuhkan suaranya dalam menentukan pemimpin daerah. ”Ini paling banyak. Mereka tidak akan pulang ke daerahnya,” kata Muradi.

Golongan skeptis menjadi salah satu dari tiga golongan mahasiswa yang dia klasifikasikan. Dua lainnya adalah mahasiswa yang mengambil peran dalam politik tetapi berupa peran-peran minimal dan golongan putih.

Peran minimal ini misalnya menjadi pengurus partai politik dan relawan bagi penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan pasangan calon kepala daerah.

Sementara itu, golongan putih biasanya aktif di Non-Government Organization atau lembaga swadaya masyarakat yang beririsan dengan kebijakan pemerintah misalnya di bidang lingkungan atau pembangunan kota. Mereka mengkritisi kebijakan dan lantang menyuarakan golput saat pilkada, apalagi jika calon yang ditawarkan dinilai tak cukup baik.

Munculnya ketiga golongan itu, menurut Muradi, bertolak belakang dengan sikap politik kebanyakan mahasiswa sebelum 2004. Alih-alih menjadi ”sekrup demokrasi” seperti sekarang, mahasiswa dulu berani memainkan peran sebagai ”palu demokrasi”.

”Isu untuk mahasiswa seharusnya adalah memberikan alternatif pemikiran baru kepada publik. Seharusnya mereka muncul sebagai figur alternatif yang mengkritisi model pembangunan dan menawarkan model pembangunan ideal,” ujarnya. Karakter mahasiswa dalam berpolitik seharusnya berbeda dengan NGO dan organisasi masyarakat karena mahasiswa lebih netral dalam memperjuangkan kepentingan publik.

Sayangnya, taring mahasiswa tumpul seiring dengan zaman. Pemikiran-pemikiran alternatif tak secemerlang dulu karena Muradi menilai pondasi keilmuwan mahasiswa tak lagi kuat. Penguasaan teori atau konsep yang lemah tentu tak bisa berujung kepada alternatif wacana yang berbobot. Padahal, penguasaan teoritis adalah pembeda mahasiswa dengan kaum politikus agamais maupun nasionalis yang lebih ahli dalam tataran praktis.

”Dulu zaman saya, mahasiswa bisa berdebat sampai berbusa-busa dengan dosen. Karena memang bacaan kami berat. Akan tetapi, selama 20 tahun pengalaman saya mengajar, saya tidak melihat mahasiswa yang seperti itu,” tutur Muradi. Sebagai contoh ketika mengkritisi kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Barat, mahasiswa lantang menjadi orator. Namun, detail kegagalan dan konsep ideal yang ditawarkan tak sedalam yang diharapkan.

Mahasiswa sekarang telanjur dimanjakan oleh akses informasi dari gudang google tanpa mengulitinya melalui buku teks. Kritik-kritik pada akhirnya habis oleh NGO atau ormas seperti Walhi mengkritisi Citarum dan orang-orang lingkungan mengkritisi Waduk Jatigede. Mahasiswa pun pada akhirnya justru menjadi bagian dari NGO atau ormas. Mereka terfragmentasi.

Tak heran, mahasiswa semakin kehilangan momentum dan ditinggalkan masyarakat. Muradi menceritakan pernah suatu kali seorang mahasiswa yang menjabat ketua Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah fakultas, meminta bantuannya untuk mengusulkan pengaspalan jalan di sekitar tempat tinggalnya. ”Aneh, kenapa kamu tidak menggunakan jaringan kamu untuk meminta itu. Kalau dulu kan seminggu kemudian langsung diaspal,”” kata Muradi.

Ranah elite
Tahun 2004 menjadi penanda mulai lemahnya suara mahasiswa. Pada tahun itu, gairah politik mahasiswa masih terasa kuat dalam hajat pemilihan presiden secara langsung untuk yang pertama kali di Indonesia.

Namun, sejak saat itu wacana politik di Indonesia dikuasai para elit politik daripada kalangan lokal. Parpol juga menjadi wadah ekslusif dalam pengembangan pemikiran politik pemuda karena ketiadaan unit di parpol yang mengakomodasi usia kurang dari 40 tahun. Pemilih di Jawa Barat, menurut Muradi, 75% berusia kurang dari 45 tahun dan 62% di bawah 35 tahun.

Bak gayung bersambut dengan penguasaan teoritis yang kurang dan kebergantungan mahasiswa kepada media sosial, maka wajar kemudian mahasiswa hanyut sebagai pengikut isu (follower). Ditambah lagi, mahasiswa saat ini cenderung tidak memiliki ikatan ideologis dengan masyarakat yang seharusnya mereka bela.

”Keberpihakan mahasiswa dulu kepada masyarakat itu karena kebanyakan orangtua mereka adalah petani. Mereka memahami itu dalam konteks kerakyatan. Kondisi sekarang, mahasiswa terjebak dalam paradigma terbatas, perspektif dangkal, dan nyaman dengan figur yang sejalan dengan tren mereka,” kata Muradi.

Tidak sulit menemukan mahasiswa yang terkesima dengan isu-isu yang sejalan dengan gaya hidup mahasiswa. Mereka terkesima dengan sosok politikus atau pemimpin yang doyan nge-vlog misalnya. Itu karena sejalan dengan gaya hidup mahasiswa kekinian yang rata-rata berkecukupan secara materi.

Di sisi lain, buyarnya orientasi politik mahasiswa disebut juga karena mahasiswa kehilangan role model dalam berpolitik. Muradi mengakui hal itu sebagai bagian dari otokritik para dosen, termasuk dirinya.
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Bandung, Kamal Nuryadin, sepakat bahwa parpol tidak memberikan banyak ruang kepada generasi muda untuk berpolitik. Parpol akan menjatuhkan pilihannya kepada kader yang telah lama bergabung, meski tak berprestasi.

Ditambah pemberitaan yang buruk tentang kasus-kasus politikus seperti korupsi dan mahar pilkada, membuat anak muda kian jengah dan menjauh. Di tengah kebebasan berpendapat dan dimanjakannya mahasiswa oleh perkembangan teknologi, Kamal menilai sebagian mahasiswa terbuai dengan zona nyaman mereka daripada memikirkan kondisi lingkungan sekitar.

Meski demikian, sebagian mahasiswa lagi sebenarnya tertarik dan tetap mengkritisi keadaan perpolitikan nasional. Namun, mereka menempuh upaya lain seperti membuat gerakan-gerakan sosial seperti di bidang pendidikan dan kesehatan sebagai tawaran alternatif program.

”Mereka nggak setuju dengan keadaan politik hari ini sehingga melawannya dengan program. Untuk bikin penelitian, petisi, perkumpulan lalu buat perjanjian dengan pemerintah, pemerintah tidak boleh begini begitu, saya sudah melakukan itu dengan kawan-kawan jurusan administrasi negara antarkampus, teapi kritik kami tidak digubris,

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.