“Kiamat Teller Bank” Indonesia Tak Terelakkan?
Digitalisasi kian drastis mengubah wajah perbankan nasional. Inklusi keuangan kini dijalankan berbasis gawai, yang memicu penurunan jumlah kantor cabang bank beberapa tahun terakhir.
Menurut data Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tren peralihan digital terlihat dari lonjakan nilai transaksi elektronik hingga ribuan kali lipat dalam 1 dekade terakhir, sementara jumlah kantor cabang bank turun drastis, karena 4.000 lebih kantor cabang ditutup.
Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per November 2021 yang diterbitkan OJK menyebutkan bahwa jumlah kantor cabang di seluruh Indonesia tercatat hanya 3.583 unit, menurun dari tahun 2020 yang tercatat sebanyak 3.616 unit.
Jika dibandingkan dengan data terawal SPI, yakni pada 2002, di mana jumlah kantor cabang di seluruh Indonesia mencapai 2.507 unit, maka dalam 20 tahun terakhir jumlah kantor cabang di Indonesia sebenarnya masih bertambah yakni sebanyak 42,92%.
Hal tersebut tentu saja wajar karena semua bank melakukan ekspansi organik untuk memperkuat penetrasi pasar dan jaringan kantor cabang mereka di seluruh Indonesia. Hanya saja, jika dilihat berdasarkan tren 5 tahun terakhir, terlihat bahwa ada penurunan jumlah kantor cabang.
Pada 2018, pelaku industri perbankan nasional mencetak jumlah kantor cabang bank yang terbanyak dalam sepanjang sejarah di Indonesia, yakni sebanyak 3.717 unit. Dengan demikian, dalam 3 tahun terakhir terjadi penurunan jumlah kantor cabang sebanyak 135 unit.
Mayoritas penurunan jumlah kantor cabang terjadi pada provinsi-provinsi terpadat seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat, atau sebaliknya provinsi kepulauan dengan luas wilayah relatif kecil (Maluku dan NTT) yang sudah bisa dilayani dengan digitalisasi perbankan.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan penurunan terbanyak kantor cabang, yakni sebanyak 13 kantor, dari 468 unit pada November 2020 menjadi 455 unit pada November tahun lalu. Terhitung sejak sebelum pandemi (2019), jumlah penutupan kantor cabang mencapai 16 unit.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyusul dengan penutupan kantor cabang sebanyak 11 unit selama pandemi. Namun, penutupan tersebut juga dipicu perubahan kebijakan setempat di mana bank konvensional diwajibkan mengalihkan bisnisnya ke unit usaha syariah.
Dalam situasi normal, semestinya jumlah kantor cabang bertambah karena kebutuhan ekspansi. Namun karena keberadaan fisik bisa digantikan dengan layanan digital banking atau bahkan bank digital, Indonesia pun mengalami penurunan jumlah kantor cabang.
Sementara itu, data Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan (SPIP) per Desember 2021 menunjukkan kecenderungan masyarakat melakukan transaksi elektronik terus meningkat, sebagaimana terlihat dari penggunaan uang elektronik yang melesat 9.578,8% dari 3,02 juta instrumen (2009) menjadi 292,3 juta (2019).
Data BI tersebut merekam bahwa era pandemi semakin memicu penggunaan uang elektronik melesat lebih jauh, di mana pada 2020 ada 432,3 juta instrumen uang elektronik, dan sepanjang 2021 bertambah menjadi 575,3 juta instrumen.
Dengan demikian, selama pandemi saja pertumbuhan uang elektronik baru nyaris dua kali lipat, menunjukkan besarnya gelombang penggunaan uang elektronik di industri keuangan Tanah Air terutama di tengah pembatasan sosial.
Nilai transaksinya pun melesat drastis dari Rp 519 miliar (2009) menjadi Rp 473,44 triliun (2019). Angka tersebut melonjak kembali selama pandemi, sehingga per November 2021 saja sudah menembus angka Rp 706,54 triliun.
Sementara itu, nilai transaksi digital banking sepanjang 2021 dilaporkan meningkat 45,64% mencapai Rp 39.841,4 triliun. BI memperkirakan transaksi digital banking akan tumbuh 24,83% mencapai Rp 49.733,8 triliun pada 2022.
Terbaru pada Januari kemarin saja, transaksi keuangan digital mencapai Rp 4.314,3 triliun dalam sebulan itu, atau naik 62,82%. Sementara itu, nilai transaksi uang elektronik tumbuh 66,65% pada periode yang sama mencapai Rp34,6 triliun.
Lalu bagaimana dengan uang ATM? Data BI menyebutkan jumlah kartu ATM dan kartu debit yang diterbitkan terus meningkat, dari 44,53 juta unit (2009) menjadi 183,43 juta unit (2019), dan berlanjut meningkat selama pandemi menjadi 221,06 juta unit (2021).
Namun, nilai transaksi kartu ATM dan debit pada 2021 hanya Rp 6.953 triliun, cenderung turun dari posisi sebelum pandemi senilai Rp 7.475 triliun (2019). Hanya saja, angka tersebut masih terhitung melesat jika dibandingkan dengan nilai transaksi 2009 yang hanya Rp 1.811 triliun.
Berbeda dari uang elektronik, nilai transaksi ATM menurun selama pandemi karena masyarakat cenderung berhati-hati menggunakan fasilitas umum, termasuk mesin ATM, terutama di tengah makin meningkatnya kualitas dan efektivitas layanan digital banking.