LIPI Kembangkan Teknologi Pencegah Longsor
Gerakan tanah adalah bahaya geologi yang mengancam banyak wilayah di Indonesia. Berdasarkan data dan informasi bencana di Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam kurun waktu 13 tahun (2004-2016), terjadi 2.400 peristiwa gerakan tanah.
Sebagian besar peristiwa gerakan tanah terjadi pada musim hujan dan berasosiasi dengan atau dipicu oleh curah hujan tinggi. Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto di Jakarta, Senin (3/4).
Terkait hal itu lanjut Eko, LIPI melakukan penelitian dan pengembangan instrumentasi pemantau dan metode pengontrol bahaya gerakan tanah. Hingga kini LIPI telah menghasilkan prototipe teknologi mitigasi risiko gerakan tanah.
Ada tiga prototipe yaitu sistem pemantauan dan peringatan dini bahaya gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel (Wiseland LIPI). Kemudian aplikasi pemetaan dan prediksi bahaya gerakan tanah spasial dan temporal (Trigs Map) dan teknologi Drainase Siphon untuk kestabilan lereng (The Greatest LIPI).
“Hasil litbang ini telah diujicobakan di daerah rawan longsor di Kabupaten Bandung Barat, Sukabumi dan Purwakarta dan didiseminasikan ke beberapa kabupaten,” katanya.
Eko menambahkan, saat ini LIPI masih melakukan upaya agar teknologi yang dikembangkan tersebut dapat dibuat dengan harga yang lebih murah sehingga dapat digunakan secara luas. Di samping itu mulau tahun ini, LIPI juga mengembangkan teknologi mitigasi risiko getakan tanah dan tsunami berbasis android dengan harapan masyarakat luas dapat mudah mengaksesnya melalui ponsel.
Mulai tahun ini juga, LIPI mengembangkan metode Bio-Mitigasi risiko gerakan tanah, yaitu suatu upaya memperbaiki kestabilan lereng yang rawan longsor dengan menggunakan jenis jenis tumbuhan yang memiliki karakter yang menguatkan lereng. Metode ini akan menjadi komplemen dari teknologi The Greatest LIPI.
Menurutnya, pengurangan risiko bencana memang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda) seperti ditegaskan di dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Di UU ini ditegaskan bahwa penanggulangan bencana termasuk ke dalam urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar.
“Sempitnya ruang fiskal di APBD seringkali menjadi kendala dan alasan dalam menjalankan kewajiban ini secara efektif. Dalam kasus pengurangan risiko gerakan tanah, pemda dapat proaktif mensosialisasikan upaya upaya mitigasi sederhana yang dapat dilakukan masyarakat,” paparnya.
Sosialisasi bisa dilakukan ke desa-desa dengan tanda-tanda yang mudah dikenali akan terjadinya gerakan tanah. Tanah yang retak-retak, pohon-pohon yang miring, keluarnya mata air secara mendadak di lereng yang miring dan terjal menjadi sebagian penanda akan bergeraknya tanah.
“Jika hal-hal itu dijumpai, masyarakat diharapkan segera menghindari berada di lereng dan di bawah lereng tersebut,” ucapnya.
Kewaspadaan dan kesiapsiagaan juga harus ditingkatkan oleh masyarakat yang tinggal di lereng lereng dan di kaki lereng, pada saat curah hujan menjadi tinggi dan ketika hujan deras berlangsung cukup lama.
Kemudian penanaman beberapa jenis pohon seperti beberapa jenis bambu, pinang/enau di lereng lereng miring dan terjal juga secara empiris terbukti mampu mencegah terjadinya gerakan tanah.
Jika pemda dan masyarakat memiliki anggaran yang dapat digunakan untuk memasang teknologi pemantau longsor baik yang digital maupun manual atau sederhana maka pemasangan teknologi disarankan dan dikombinasikan dengan upaya- upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat
Sumber : BeritaSatu