Nasib Taksi Konvensional Sekarang
Kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi online (daring) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan angkutan yang mengutamakan kenyamanan dan keamanan. Tidak seperti transportasi konvensional, para pengguna jasa transportasi berbasis daring tidak lagi mesti pergi ke pangkalan, berdesak-desakan, dan berjibaku dengan ulah para sopir yang sering “ngetem” menghabiskan waktu para penumpang.
Mereka hanya tinggal mengunduh aplikasi di ponsel pintarnya dan tinggal memilih ke mana lokasi yang akan dituju. Tak memerlukan waktu lama, angkutan datang menjemput di depan rumah meski harus merogoh kocek yang lebih dalam. Taksi berbasis aplikasi sendiri sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2014 yang diawali oleh perusahaan asal Amerika Serikat, Uber dan perusahaan asal negeri tetangga, Malaysia Grab.
Namun pada medio tersebut kehadirannya tidak sepopuler seperti saat ini. Uber yang digdaya di 57 negara, belum bisa menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih saat itu, Uber hanya menyediakan pembayaran melalui kartu kredit sehingga masyarakat yang belum memilikinya tidak bisa menikmati layanan Uber. Di tahun 2015, Uber kemudian berbenah dengan menyediakan layanan pembayaran langsung. Hal ini menjadi titik awal Uber merajai pangsa pasar transportasi umum berplat hitam di Indonesia.
Meski begitu, kehadirannya mendapat tentangan dari sopir taksi konvensional karena dianggap telah merampas sebagian pendapatannya. Berbeda dengan Uber, perjalanan Grab dalam memulai ekspansinya ke Indonesia sedikit mulus. Sebab, pada mulanya Grab hanya menyediakan jasa aplikasi sebagai penghubung antara calon penumpang dengan taksi konvensional yang dinamai Grab Taxi.
Seiring dengan kepentingan perusahaan, Grab Taxi memperluas layanan jasa melalui Grab Bike (ojek motor) sebagai pesaing dari Go-Jek yang sebelumnya sukses menyedot perhatian masyarakat. Namun pada Juni 2015 di Bali, Grab kemudian memunculkan taksi berplat hitam yang dinamakan Grab Car.
Kenyamanan yang ditawarkan taksi daring dirasakan salah satu warga Bandung, Fakhrizal Saputra (27). Sehari-hari ia bekerja di perusahaan swasta di Bandung.
Ia mengaku, saat kendaraan pribadinya mengalami masalah, transportasi tersebut menjadi pilihan untuk mengantarkannya ke lokasi tujuan.
“Kalau pakai taksi biasa berat di ongkos. Pernah dulu anterin anak ke sekolah sampai Rp 50 ribu padahal cuma ke pusat kota, apalagi pakai angkot pasti lama, macet, suka ngetem dulu, ribet itu mah,” kata dia.
Berbeda dengan Fakhrizal, warga Bandung lainnya Riki Darmawan (35) yang bercerita tentang pengalamannya lebih memilih taksi daring dari pada taksi konvesional.
Suatu hari, usai pulang dari Palembang dan di tiba di Bandara Husein Sastra Negara pada tengah malam, ia meminta taksi konvensional untuk mengantarkan ke rumahnya di daerah Bojongloa, Kota Bandung.
Namun ketika sampai di lokasi tujuan, sopir taksi meminta bayaran Rp200 ribu. Karena tidak percaya, ia melihat argo, namun alat penetapan tarif tersebut dalam keadaan mati.
“Kata sopirnya rusak, belum sempat diganti,” kata dia.
Ia sempat protes karena tarif yang dibebankannya dirasa tidak masuk akal. Padahal, jarak dari bandara ke rumahnya hanya menempuh waktu selama 30 menit. Ia pun terpaksa membayarnya karena ingin segera merebahkan diri.
“Saya kaget, biasanya cuma Rp 60 ribu. Katanya sopirnya berhubung malam dan gak ada transportasi lainnya. Itu cuma akal-akalan kalau menurut saya,” kata dia.
Berdasarkan pengalaman tersebut, ia merasa kapok dan memilih untuk menggunakan taksi daring meski harus berjalan cukup jauh hingga jalan protokol. Karena ia tahu, konsekuensinya cukup berbahaya jika memesan di lokasi bandara.
Meski mendapat cap buruk, tapi bagi sebagian orang lainnya kehadiran taksi aplikasi dapat mengancam kehidupan para sopir transportasi umum lainnya, khususnya taksi konvensional.
“Kebanyakan driver online itukan orang yang kaya. Mereka punya mobil sendiri, berbeda kalau taksi atau angkot yang harus bayar setoran,” ucap Boby Setiadi (23), warga Cihampelas, Kota Bandung.
Boby menyebut, solusi mengatasi permasalahan transportasi umum sebenarnya dapat dilakukan dengan regulasi yang kuat dari pemerintah.
Karena yang sering dikeluhkan terutama angkot berkisar antara sering menurunkan dan menaikkan penumpang di mana saja, “ngetem” terlalu lama, serta kompetensi para sopir itu sendiri, sedangkan taksi perlu adanya penetapan argo yang sesuai, baik dari pemerintah maupun pengusaha taksi.
“Jadi bisa dari aturan yang mengatur agar jangan ngetem, menarik penumpang di tempat yang sudah disiapkan. Namun Organda dan taksi juga mesti bisa bersaing menciptakan kenyamanan,” kata dia.
Untuk mengatasi pemasalahan taksi konvesional dan daring, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 yang digadang-gadang sebagai regulasi yang dapat mengakomodasi kehadiran taksi konvensional dan berbasis daring. Dalam revisi tersebut, pemerintah menekankan 11 poin penting yang menjadi acuan atau payung hukum bagi taksi berbasis aplikasi. Hal itu sebagai upaya mengantisipasi adanya gesekan antara pengemudi taksi aplikasi dengan sopir taksi konvensional.
Ke-11 poin tersebut meliputi jenis angkutan sewa, kapasitas silinder kendaraan, batas tarif angkutan sewa khusus, kuota jumlah angkutan sewa khusus, kewajiban STNK berbadan hukum, pengujian berkala, pool, bengkel, pajak, akses dashboard, serta pemberian sanksi. Revisi tersebut akan ditetapkan mulai per-tanggal 1 April 2017, namun pemerintah memberikan transisi waktu selama tiga bulan kepada pengusaha taksi berbasis daring untuk melengkapi 11 poin tersebut.
Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menuturkan, kehadiran transportasi aplikasi tidak bisa dihindarkan. Hal itu mengingat kebutuhan masyarakat akan angkutan yang nyaman, aman, dan mudah. Meski begitu, perlu adanya regulasi yang mengatur agar transportasi umum lainnya tidak terancam salah satunya melalui revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016.
Pemberlakuan revisi Permenhub 32/2016 dapat dijadikan sebagai momentum membenahi transportasi umum. Beberapa poin yang menjadi perhatiannya, seperti pembatasan kuota menjadi sangat penting untuk menjaga agar tidak terjadi kelebihan beban taksi daring di jalanan. Karena jika tidak dibatasi, hal itu dikhawatirkan akan berujung pada buruknya pelayanan, perebutan penumpang, serta banting tarif antarsesama pelaku transportasi daring.
Kemudian pembatasan tarif batas atas dan bawah, hal itu dirasa penting untuk melindungi konsumen dan di sisi lain bisnis transportasi tersebut tetap terjaga keberlangsungannya. Djoko menyebut akar permasalahan transportasi ini sebenarnya bermuara dari buruknya layanan transportasi umum dan dengan pemberlakuan revisi Permenhub, pemerintah berupaya membenahi sistem transportasi yang ada.
Ia pun meminta agar taksi konvensional berbenah agar eksistensinya bisa bersaing dan para pelanggan tidak beralih menggunakan taksi aplikasi, di sisi lain pengusaha taksi daring harus tahu diri dan tidak memaksakan kehendak serta mengikuti aturan yang dibuat pemerintah.
Sumber : Inilahkoran