Perempuan Muda Rentan Jadi Korban Kekerasan Berbasis Gender Online
Internet atau ruang digital memiliki dampak positif sekaligus negatif, bagi peremuan sendiri ternyata mereka tetap rentan menjadi korban kekerasan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Riset dari Yayasan Plan International Indonesia bertajuk ‘Future Online for Girl’ yang melibatkan kaum muda perempuan di berusia 15-24 tahun dari Indonesia, Vietnam, dan Australia menunjukan bahwa di tahun 2021 banyak terjadi kekerasan dan pelecehan berbasis gender yang semakin meningkat selama pandemi COVID-19.
Berdasarkan riset ini KBGO masih sering terjadi karena empat faktor yaitu penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat di masa pandemik Covid-19, kurangnya dukungan dari para idola kaum muda di media sosial, masih banyak platform media sosial yang belum terlalu efektif digunakan dalam menangani kasus KBGO dengan baik, dan penerapan nilai budaya yang salah.
“Dalam riset Future Online, kami menemukan bahwa bystander atau saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut berlangsung, dapat berperan efektif dalam memutus rantai kekerasan di ranah digital,” tutur Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti.
“Sehingga dalam kampanye #BystanderTukRuangAman yang diluncurkan Plan Indonesia sejak Maret 2022, kami berupaya meningkatkan pemahaman dan kapasitas kaum muda serta influencers untuk menjadi bystander yang aktif di ranah daring,” sambungnya.
Kondisi tersebut didukung dengan data yang disampaikan Staf Khusus Menkominfo, Deddy Permadi. Dia menyebutkan bahwa studi Digital Civility Index oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong dengan risiko pelecehan seksual daring yang cukup tinggi, yaitu 42 persen.
“KBGO merupakan isu penting yang harus ditangani di Indonesia yang memiliki pengguna internet sebesar 204,7 juta orang. Kita harus menjaga ruang digital kita aman, sehat, dan produktif yang memerlukan kolaborasi lintas pihak,” ungkapnya.
Di webinar yang digelar oleh Plan Indonesia, pihaknya bersama sejumlah lembaga ingin berkolaborasi untuk memerangi KBGO, di antara pendidikan literasi dan keamanan digital implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang serius hingga di ruang digital.
Kalis Mardiasih, Penulis dan Fasilitator Gender, mengatakan, jumlah kasus KBGO sesungguhnya sangat tinggi. Aduan-aduan yang masuk sudah sangat banyak seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat. Namun, sayangnya, aduan-aduan ini masih kejar-kejaran dengan proses pendampingan kasus dan perlindungan korbannya.
“Masalah lainnya terkait KBGO adalah ketika kita menjadi bystander aktif dan sedang memberikan dukungan, kita justru kerap menjadi korban KBGO berikutnya. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi juga bagi bystander aktif tentang hal ini. Sehingga, penting untuk memitigasi dan memastikan pengguna media sosial siap untuk menghadapi tantangan sebagai bystander aktif,” jelas Kalis.
Kasubdiv Digital At Risks SAFEnet, Ellen Kusuma menambahkan tentang berbagai kiat yang dapat dilakukan baik bystander maupun korban dalam melaporkan KBGO. Menurut dia, kapasitas untuk mitigasi KBGO menjadi hal yang penting. Karena, walaupun bystander yang ada sudah memiliki niat baik, hal ini tidak cukup.
Dia menegaskan Diperlukan wawasan yang baik untuk menangani KBGO. Makanya penting bagi kita untuk mendiseminasi tentang intervensi yang bisa dilakukan oleh bystander ketika melihat ada KBGO.
“Karena kita perlu melatih insting sebagai bystander ketika mereka berhadapan dengan KBGO. Salah satu solusi untuk melakukan edukasi ini bisa dilakukan melalui intervensi kebijakan yang menciptakan kurikulum pendidikan di Indonesia agar dapat diperlakukan secara nasional,” tandas Ellen.