Revolusi Industri 4.0, Eranya Mesin dan Kecerdasan Buatan?
Istilah Revolusi 4.0 telah bergema sejak beberapa tahun lalu, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Berbagai pihak berupaya mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan revolusi ini.
Di pasar Indonesia, Revolusi Industri 4.0 ini diidentikan dengan pembangunan infrastruktur di ranah telekomunikasi, salah satunya dengan jaringan fiber optik yang digelar pemerintah dari Indonesia barat hingga timur, dan seluruh penjuru Indonesia, melalui program Palapa Ring.
Namun, apa itu Resolusi Industri 4.0? Istilah Revolusi 4.0 pertama kali disebutkan oleh pendiri dan ketua eksekutif WEF Klaus Schwab. Schwab menerbitkan sebuah buku pada tahun 2016, berjudul “Revolusi Industri Keempat, dan istilah ini kemudian menjadi bahasan utama dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pada bulan Januari 2019 lalu.
Schwab berpendapat revolusi teknologi sedang berlangsung dan dinilai memiliki kemampuan untuk mengaburkan batas antara bidang fisik, digital, dan biologis. Secara sederhana, Revolusi Industri 4.0 mengacu pada pemanfaatan kombinasi teknologi internet dan kecerdasan buatan dalam perangkat yang mempengaruhi hidup manusia.
Di awal kemunculannya, Revolusi Industri 4.0 menjadi momok menakutkan bagi manusia. Sebab, revolusi ini disebut mendorong gelombang pemanfaatan teknologi sebagai pengganti tugas yang rutin dilakukan oleh manusia.
Revolusi ini kemudian mendisrupsi sejumlah industri, termasuk perbankan dan transportasi. Pada industri perbankan, sejumlah bank telah memanfaatkan teknologi untuk menggantikan tugas petugas bank, terutama di kantor cabang di luar kota besar.
Penamaan Revolusi Industri 4.0 bukanlah tanpa alasan, sebab revolusi di era digital ini merupakan revolusi besar keempat yang mengubah masyarakat secara fundamental di dunia. Masing-masing revolusi ini dimulai saat ditemukan teknologi spesifik dengan kemampuan mengubah masyarakat tersebut.
Revolusi Industri 1.0 dimulai di Inggris pada tahun sekitar 1760, setelah ditemukan penemuan besar yaitu mesin uap. Mesin uap ini membuka peluang untuk pemanfaatan proses manufaktur baru, mendorong kemunculan fasilitas produksi atau pabrik.
Implementasi teknologi baru ini membutuhkan waktu lama, dan berdampak pada manufaktur tekstil, industri pertama yang mengadopsi perubahan ini, serta industri besi, agrikultur dan tambang, serta berdampak secara sosial dan memperkuat masyarakat kelas menengah.
Sementara itu, Revolusi Industri 2.0 dikenal masyarakat sebagai revolusi secara teknologi yang terjadi pada tahun 1870 hingga 1914. Pada revolusi ini, tercipta jaringan jalur kereta api dan kemunculan perangkat telegraf, memungkinkan proses transfer manusia dan ide menjadi lebih cepat.
Revolusi kedua ini juga ditandai oleh kehadiran listrik yang memungkinkan pabrik memanfaatkan listrik untuk melakukan lini produksi lebih modern.
Periode revolusi ini juga diisi dengan pertumbuhan ekonomi signifikan, dengan peningkatan produktivitas. Namun, revolusi ini juga menyebabkan perumahan pegawai dalam jumlah signifikan karena digantikan oleh mesin di pabrik.
Sedangkan Revolusi Industri 3.0 terjadi di akhir abad ke-20, setelah dua perang dunia berakhir. Revolusi ini merupakan hasil dari perlambatan pada industrialisasi dan perkembangan di ranah teknologi jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Revolusi ketiga ini juga disebut dengan nama revolusi digital. Krisis global yang terjadi pada tahun 1929 merupakan salah satu pengembangan ekonomi negatif yang terjadi akibat kemunculan banyak negara industri dari dua revolusi sebelumnya.
Produksi kalkulator mekanikal yang didayai listrik, Z1, menjadi awal pengembangan digital lebih canggih. Pengembangan ini dilanjutkan oleh kemajuan signifikan selanjutnya dalam pengembangan teknologi komunikasi dengan komputer super.
Dalam proses pengembangan ini, muncul penggunaan komputer secara dan teknologi komunikasi besar-besaran dalam proses produksi. Mesin mulai menghilangkan kebutuhan tenaga manusia dalam kehidupan sehari-hari,
Pada Revolusi Industri 4.0 terdapat sejumlah komponen, termasuk perangkat mobile, platform Internet of Things (IoT), teknologi deteksi lokasi, antarmuka mesin ke manusia yang canggih, deteksi penipuan dan autentikasi.
Komponen lain juga termasuk pencetak 3D, sensor cerdas, analitik Big data dan algoritma canggih, interaksi konsumen multilevel dan memprofilan pelanggan, perangkat wearable dan Augmented Reality, komputasi Cloud, Edge, dan Fog, serta visualisasi daya dan pelatihan langsung dengan pemicu.
Utamanya, teknologi ini dikategorikan dalam empat komponen utama, yaitu sistem fisik-siber, IoT, komputasi Cloud dan komputasi kognitif. Keempat komponen utama ini mendefinisikan istilah Industri 4.0 atau pabrik cerdas.
Sementara itu, dalam studi yang dirilis pada 2017, European Patent Office menemukan jumlah dokumen paten terkait dengan Revolusi Industri 4.0 yang diajukan pelaku industri Eropa mengalami peningkatan signifikan, hingga 54 persen dalam tiga tahun terakhir.
Sayangnya di sejumlah negara, euforia Revolusi Industri 4.0 ini terlambat disambut oleh masyarakat. Sehingga berbagai kalangan masyarakat baik perusahaan, pemerintah, maupun individu saat ini masih berupaya untuk beradaptasi dengan revolusi ini.
Di Indonesia, Revolusi Industri 4.0 ini juga ditandai kemunculan ecommerce dan perusahaan berbasis aplikasi lain. Namun, sambutan terhadap revolusi ini tergolong sedikit terlambat dari segi pemerintah yang masih dalam proses penyempurnaan sejumlah regulasi terkait, termasuk regulasi terkait perlindungan data pribadi dan penyiaran.