Waspadai Pilkada Jawa Barat “Digoreng” Isu Agama
Pemilihan kepala daerah atau Pilkada Jawa Barat 2018 kemungkinan besar akan diganggu pihak yang “menggoreng” isu agama. Keadaan ini sudah tampak pada beberapa gejala yang dapat dilihat dari percakapan di media sosial. Hal serupa juga terjadi pada pelaksanaan pilkada di wilayah lain seperti Kalimantan Barat yang saat ini sedang berlangsung.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Wachid Institute, Rumadi Ahmad, menyampaikan hal itu dalam seminar nasional “Mengukir Makna Kebangkitan Nasional 2017 dengan Mewujudkan Karmonisasi Kemajemukan di Indonesia”. Seminar ini diselenggarakan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha (UKM), di Gedung Adminitrasi Pusat UKM, Jalan Soeria Soemantri.
Menurut Rumadi, fenomena “menggoreng” isu agama pada pelaksanaan pilkada merupakan bagian dari fenomena kekuatan agama. Kenyataan ini diyakini semakin menguasai politik dunia global saat ini. Fenomena ini tampak dari prinsip-prinsip pemerintahan teokratik dalam berbagai variasinya yang menyebar ke berbagai penjuru dunia. Itu sebabnya, peserta dalam Pilkada Jawa Barat harus hati-hati.
Pertimbangan-pertimbangan keagamaan pun menjadi penentu penting dalam berbagai kebijakan publik. Rumadi mengatakan munculnya tokoh-tokoh agama yang menjadi penentu dalam berbagai kebijakan politik dunia merupakan fenomena lainnya.
Fenomena politik global tersebut, lanjut dia, berpengaruh terhadap kondisi politik nasional dan lokal. Dalam konteks nasional, ditandai dengan bangkitnya kekuatan konservatif, semakin dominannnya pembicaraan agama dalam perbincangan di ruang publik, dan kekuatan intoleran mendapat ruang ekspresinya. Hal ini pun dapat terjadi dalam Pilkada Jawa Barat 2018.
Tidak hanya itu, Rumadi melihat masyarakat juga mulai mempertanyakan kekuatan Islam moderat yang sebelumnya dipandang sebagai arus utama. Aksi 411 dan 212 merupakan satu dari banyak kecenderungan semakin ditinggalkannya kekuatan Islam moderat, walaupun dijumpai beberapa tokoh Muhammadyah yang menjadi aktor dari aksi tersebut.
“Kalau dalam konteks lokal, isunya yang diterapkan dengan cara “menggoreng” agama saat pilkada. Hal yang sangat mengenaskan, proses pilkada mungkin sudah selesai tetapi bekas lukanya masih tetap terasa dan belum sembuh,” kata Rumadi.
Munculnya kekuatan agama dalam mempengaruhi politik global, kata dia, terjadi salah satunya karena keangkuhan teori modernisasi. Teori ini memandang bahwa agama dilihat sebagai hal primitif, penuh takhayul, dan irrasional. Agama dianggap akan hilang dengan munculnya abad pencerahan dan kemajuan. Agama dianggap seperti “zombie” atau hantu yang menakutkan sehingga kekuatan menjadi sebagai ancaman.
“Tapi faktanya menunjukkan, agama tidak mati dan tidak dapat diabaikan peranannya oleh teori sosial modern, walaupun teori modern melihat agama sebagai zombie yang bangkit berkeliaran,” katanya.
Pembicara lain Pastor Muda David Paskoal mendedahkan, fenomena saat ini merupakan fenomena bagaimana menguasai informasi. Anak-anak muda menjadi generasi “engaging” yang secara gesture hanya melakukan tiga respons dalam menerima informasi, “like”, “comment”, dan “share”. Ketiga respons ini diberikan tanpa berpikir panjang, tanpa evaluasi dan kontemplasi, tidak peduli isi, yang penting popularitas atau menjadi bagian dari trending topic yang sedang dibicarakan.
Akibatnya, kata David, yang muncul kemudian semua hanya berpikir presentasi tanpa isi. Walaupun provokatif tetapi tidak sesuai dengan interes dirinya. “Kalaupun terjadi peperangan di medses seperti facebook, tidak mendalam. Sangat dangkal ,” ujarnya.
Untuk mencoba keluar dari kondisi tersebut, David mengatakan, perlu keberanian menghampiri, meninggalkan prasangka dan tetap tenang. Bila itu semua sudah dilakukan, menurut dia perlu membuat “jembatan” komunikasi, perdalam interaksi, lalu berdialog. “Dari saling dialog itulah akan muncul kesepahaman satu sama lain. So keep calm and stop prejudice!.
Sumber : PikiranRakyat